Gencatan senjata permanen memerlukan penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza serta pemulihan stabilitas dan kebebasan bergerak bagi warga Palestina.
Doha, Qatar (Xinhua/Indonesia Window) – Perdana Menteri (PM) Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani pada Sabtu (6/12) memperingatkan bahwa
gencatan senjata di Gaza telah mencapai "momen kritis" dan berisiko gagal tanpa kemajuan segera menuju kesepakatan damai permanen.
Berbicara di Forum Doha (Doha Forum), sang PM mengatakan gencatan senjata permanen memerlukan penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza serta pemulihan stabilitas dan kebebasan bergerak bagi warga Palestina.
Peringatan ini menyoroti rapuhnya kesepakatan yang dimediasi oleh Mesir, Qatar, Turkiye, dan Amerika Serikat (AS), yang mulai berlaku pada
10 Oktober. Meskipun gencatan senjata awalnya menghentikan pertempuran, pelaksanaan fase keduanya terhenti pada beberapa poin penting, termasuk pelucutan senjata Hamas.
Di bawah rencana yang disetujui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada November, Israel akan menarik diri dari posisinya sementara Gaza akan dikelola oleh badan pemerintahan transisi yang dikenal sebagai ‘Dewan Perdamaian’ (Board of Peace). Rencana ini juga mengamanatkan pengerahan sebuah pasukan stabilisasi internasional.
Namun, susunan dewan tersebut masih belum pasti. Meski secara teoritis Presiden AS Donald Trump akan memimpin dewan tersebut, identitas para anggota lainnya belum diumumkan. Selain itu, sejumlah laporan menunjukkan bahwa negara-negara Arab dan Muslim menyatakan keraguan terhadap pasukan stabilisasi tersebut, khawatir hal itu dapat menyebabkan keterlibatan dalam pertempuran dengan militan Palestina.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Turkiye Hakan Fidan mengatakan kepada forum itu bahwa tujuan utama saat ini "seharusnya memisahkan warga Palestina dari Israel."
Menlu Mesir Badr Abdelatty menekankan seruan tersebut, mengusulkan agar pasukan itu ditempatkan sepanjang "Garis Kuning" (Yellow Line) untuk memverifikasi dan memantau penghentian permusuhan.
Forum Doha yang berlangsung selama dua hari ini dibuka pada Sabtu dengan mengusung tema ‘Keadilan dalam Aksi’ (Justice in Action), yang mempertemukan para pembuat kebijakan untuk membahas gencatan senjata yang genting karena Israel dan Hamas terus saling menuduh melanggar ketentuan-ketentuannya.
Laporan: Redaksi