Indonesia menguasai pasar nilam dunia dengan tanggung jawab untuk memastikan keberlanjutan produksinya.
Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Sebagai produsen utama minyak nilam di tingkat global, Indonesia menguasai pasar nilam dunia dengan tanggung jawab untuk
memastikan keberlanjutan produksinya.
“Industri parfum, kosmetik, aromaterapi, dan farmasi mengandalkan pasokan ini. Kita harus menjamin kualitas sekaligus memperluas akses pasarnya,” kata Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (
BRIN), Puji Lestari, pada
webinar EstCrops_Corner #18 bertema ‘Sinergi Pemuliaan, Industri, dan Penangkar Benih dalam Pengembangan Nilam sebagai Komoditas Atsiri Nasional yang Berkelanjutan’, Kamis (28/8).
Menurutnya, ada tiga tantangan utama dalam mengembangkan nilam, yakni produktivitas yang belum optimal, mutu minyak yang masih bervariasi, serta rantai pasok yang rapuh.
“Dampaknya terasa pada nilai jual di pasar internasional. Riset pemuliaan, peningkatan teknik budi daya, dan pengembangan produk turunan bernilai tambah menjadi kunci. Namun, upaya ini tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan membutuhkan kolaborasi lintas disiplin dan lembaga,” ujarnya.
Puji menambahkan, BRIN telah memfokuskan riset minyak atsiri untuk memperkuat daya saing nasional. Kerja sama dengan pemerintah daerah, perguruan tinggi, industri, dan komunitas petani terus didorong agar terbentuk model produksi berkelanjutan yang memenuhi standar internasional sekaligus memperluas akses pasar.
Selain aspek teknis, dia mengingatkan keberhasilan produksi nilam juga ditentukan oleh ekosistem sosial. “Transfer pengetahuan, peningkatan kapasitas petani, serta penguatan kelembagaan sangat penting. Produksi yang berkelanjutan tidak hanya soal teknologi, tetapi juga kesejahteraan petani,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Riset Tanaman Perkebunan BRIN, Setiari Marwanto, menekankan pentingnya riset berkelanjutan.
Menurutnya, nilam telah lama menjadi andalan ekspor minyak atsiri, tetapi keberlanjutannya kini terancam karena penurunan produktivitas lahan, keterbatasan teknologi budi daya, dan fluktuasi harga.
“Inovasi tidak boleh berhenti di laboratorium. Inovasi harus turun ke lapangan, diterapkan oleh petani, dan memberi dampak nyata bagi masyarakat,” katanya.
Peneliti Ahli Utama BRIN, Endang Hadipoentyanti, menyebutkan Indonesia menyumbang 80–90 persen produksi nilam dunia, dengan budi daya didominasi perkebunan rakyat di hampir seluruh provinsi.
Data ekspor 2014–2023 menunjukkan tren positif, meski sebagian besar masih berupa bahan mentah.
Menurut Endang, penyakit layu bakteri menjadi ancaman serius karena mampu memusnahkan hingga 90 persen tanaman. Untuk itu, riset pemuliaan diharapkan menghasilkan varietas unggul
Patchoulina 1 dan
Patchoulina 2 yang lebih tahan penyakit dan memenuhi standar mutu SNI.
“Namun, pengembangan varietas unggul hanyalah salah satu mata rantai. Hilirisasi menjadi tantangan berikutnya,” ujarnya.
Endang menekankan perlunya memperkuat pengolahan produk turunan agar nilai tambah tidak hanya dinikmati di luar negeri.
Beberapa UMKM di Kulon Progo (Yogyakarta), Madiun (Jawa Timur), dan Gianyar (Bali) telah mengembangkan produk aromaterapi,
skincare, hingga kesehatan, meski promosi dan pasarnya masih terbatas.
“Pasar harus dijaga kontinuitasnya. Produk turunan nilam bisa menjadi penggerak ekonomi daerah bila ditopang dengan strategi pemasaran yang kuat. Ini bukan sekadar soal devisa, tetapi juga kedaulatan komoditas atsiri bangsa,” pungkas Endang.
Minyak atsiri adalah kategori luas untuk senyawa organik berbau yang mudah menguap dari tumbuhan, sedangkan minyak nilam (patchouli oil) adalah salah satu minyak atsiri spesifik yang diekstrak dari daun nilam.
Laporan: Redaksi