Israel sedang memasuki "tahap penentuan" dalam perang di Gaza, dengan tujuan memperoleh dukungan dari kalangan pasukan cadangan sekaligus membantah laporan mengenai rendahnya tingkat kehadiran pasukan cadangan dalam panggilan militer terbarunya.
Yerusalem, Wilayah Palestina yang diduduki (Xinhua/Indonesia Window) – Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu pada Selasa (2/9) malam waktu setempat mengatakan bahwa Israel sedang memasuki "tahap penentuan" dalam perang di Gaza, dengan tujuan memperoleh dukungan dari kalangan pasukan cadangan sekaligus membantah laporan mengenai rendahnya tingkat kehadiran pasukan cadangan dalam panggilan militer terbarunya.
Dalam sebuah pernyataan video, Netanyahu menyampaikan langsung kepada para prajurit: "Saya ingin memperkuat kalian dan mengungkapkan apresiasi yang mendalam," ujarnya, seraya menambahkan bahwa kampanye militer telah membawa Israel "menuju kemenangan besar."
Pada pagi itu, Israel memanggil sekitar 40.000 prajurit cadangan, yang merupakan panggilan tunggal terbesar sejak perang dimulai hampir dua tahun lalu. Pemanggilan tersebut merupakan bagian dari
rencana Netanyahu untuk merebut Gaza City, sebuah langkah yang disetujui oleh kabinet Netanyahu meski menuai peringatan dari dunia internasional.
Namun, tingkat kehadiran pasukan cadangan dilaporkan lebih rendah dari yang diharapkan, ungkap laporan stasiun televisi resmi Israel, Kan TV. Sebagaimana dikutip stasiun TV tersebut, rendahnya kehadiran pasukan cadangan disebabkan oleh beban dan tekanan akibat putaran tugas yang berulang-ulang.
Keputusan kabinet Netanyahu tersebut juga memicu perbedaan pendapat di Israel. Lebih dari 350 personel pasukan cadangan pada Selasa yang sama menyatakan dalam sebuah surat bahwa mereka akan menolak tugas jika diperintahkan untuk masuk ke Gaza.
Dalam konferensi pers di Tel Aviv, mereka mengecam keputusan pemerintah yang dianggap sebagai tindakan ceroboh dan berjanji tidak akan ikut serta. Ron Feiner, seorang anggota pasukan cadangan sekaligus kelompok antiperang Standing Together, menyebut operasi yang direncanakan itu "jelas-jelas ilegal" dan memperingatkan bahwa operasi itu akan membahayakan para sandera, tentara, dan warga sipil. "Ini adalah langkah politik yang sinis dan berbahaya, yang dimaksudkan untuk melayani minoritas ekstremis, bukan keamanan warga Israel," papar Feiner.
Feiner menjelaskan bahwa anggota senior dari lembaga keamanan Israel juga telah memperingatkan tentang operasi tersebut, dengan alasan bahaya yang ditimbulkannya bagi 50 sandera yang masih ditahan di Gaza, sekitar 20 di antaranya diyakini masih hidup oleh Israel.
Sementara itu, militer Israel terus melancarkan serangan di seluruh
Jalur Gaza dan mempersiapkan serangan baru di pusat perkotaan terbesar di wilayah kantong Palestina tersebut.
Otoritas kesehatan di Gaza pada Selasa tersebut melaporkan bahwa sedikitnya 76 orang tewas dan 281 lainnya terluka akibat serangan dan tembakan Israel dalam 24 jam terakhir, menjadikan jumlah korban tewas secara keseluruhan mencapai 63.633 orang. Rumah sakit juga mencatat 13 kematian akibat kelaparan dan malanutrisi, termasuk tiga anak-anak, sehingga total kematian akibat kelaparan bertambah menjadi 361 orang, dengan 130 di antaranya anak-anak.
Avichay Adraee, juru bicara militer Israel, mendesak warga sipil di seluruh Jalur Gaza untuk pindah ke wilayah Al-Mawasi "sebelum meluasnya pertempuran ke Gaza City."
"Demi keselamatan Anda, kami memperingatkan bahwa mendekati atau kembali ke zona pertempuran atau ke area di mana Pasukan Pertahanan Israel sedang beroperasi dapat membahayakan keselamatan Anda," tulis Adraee di platform media sosial X.
Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan dalam bahasa Inggris dan Ibrani di luar Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Tel Aviv, keluarga para sandera mendesak Presiden AS Donald Trump agar menekan Israel dan Hamas untuk menyetujui kesepakatan penghentian perang dan pembebasan para sandera.
"Sangat sulit untuk menerima kabar bahwa PM Israel Benjamin Netanyahu memilih untuk memperpanjang perang daripada membuat kesepakatan yang bisa membawa para sandera pulang," tutur Ruby Chen, yang putranya, Itay, tewas di Gaza dan jenazahnya masih berada di sana.
Negosiasi antara Israel dan Hamas terhenti sejak pertengahan Agustus, karena Israel belum menanggapi proposal dari mediator, yakni Qatar dan Mesir, yang telah disetujui oleh Hamas sekitar dua pekan lalu.
Laporan: Redaksi