Kasus korupsi di Indonesia masih tinggi, salah satunya disebabkan oleh terlampau ringannya hukuman yang dikenakan atas para pelaku kejahatan ini.
Jakarta (Indonesia Window) - Hukuman yang ditetapkan oleh Majelis Hakim di pengadilan atas suatu kasus korupsi di Indonesia dinilai masih terlampau ringan, menyebabkan t
indak kejahatan tersebut masih marak terjadi Tanah Air, kata pakar hukum pidana, Prof. Dr. Suhandi Cahaya.
"Dalam Pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi, hukuman maksimal hanya penjara seumur hidup. Padahal untuk kasus narkoba, hukumannya bisa sampai hukuman mati," kata Prof. Suhandi, dalam seminar hukum bertema 'Implikasi Tindak Pidana Korupsi Terhadap Hukum dan Ekonomi', dalam rangka memperingati 10 tahun Media Sudut Pandang, di Jakarta, Sabtu.
Pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Sementara Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.
Selanjutnya Prof. Suhandi mengatakan, ringannya hukuman atas tindakan korupsi di Indonesia menyebabkan para pelaku tidak jera dan tidak takut, sehingga melakukan kejahatan ini terus menerus.
"Para pelaku korupsi sudah 'keenakan' melakukan korupsi dan tahu bahwa hukuman paling berat untuk kejahatan mereka hanya dua sampai tiga tahun penjara. Bahkan di dalam penjara pun mereka tetap bisa hidup enak dan nyaman," ujarnya, seraya menegaskan, hukuman mati seharusnya dikenakan atas para koruptor agar korupsi benar-benar dapat diberantas di Tanah Air.
Di sisi lain, lanjut pakar hukum pidana tersebut, korupsi telah mengganggu sektor-sektor ekonomi. "Korupsi menyebabkan uang yang beredar di masyarakat semakin sedikit karena sudah masuk kantong para koruptor," ujarnya.
Guna menguatkan penyusunan hukum yang adil dan tegas, Prof. Suhandi berharap agar kursi-kursi dewan legislatif diduduki oleh orang-orang yang berkompeten dan memiliki latar belakang pendidikan doktoral.
"Jika yang membuat undang-undang adalah orang-orang dengan tingkat pendidikan S3, maka tidak akan banyak undang-undang yang harus diperbaiki oleh Mahkamah Konstitusi," katanya.
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami pasang surut, sebagaimana tercermin dalam laporan
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2024 yang baru-baru ini dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII).
Indeks ini mengukur tingkat korupsi yang dipersepsikan oleh publik dan pelaku usaha. Hasilnya menunjukkan bahwa IPK Indonesia naik tiga poin menjadi 37 dibandingkan dengan tahun 2022 dan 2023.
Namun, Indonesia masih tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura (83), Malaysia (47), dan Vietnam (42). Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan sistem hukum, reformasi birokrasi, dan transparansi tata kelola pemerintahan masih menjadi tantangan utama.
Laporan: Redaksi