Kematian para jurnalis Al Jazeera akibat serangan Israel di Gaza City memberikan dampak yang mendalam bagi komunitas media di Gaza.
Gaza, Palestina (Xinhua/Indonesia Window) – Di bawah terik matahari siang, jalanan sempit di sekitar Kompleks Medis Al-Shifa di Gaza City pada Senin (11/8) dipenuhi para pelayat yang hadir untuk mengiringi jenazah
sejumlah jurnalis Palestina yang tewas akibat serangan udara Israel, saat dibawa ke tempat peristirahatan terakhir mereka.
Terbungkus kain kafan dan bendera Palestina, jenazah-jenazah para jurnalis tersebut diturunkan ke liang lahat di tengah isak tangis, pelukan, dan doa-doa yang diucapkan lirih. Pada hari itu, kesedihan pribadi yang tak tertahankan berpadu dengan duka bersama, menyusul malam penuh pengeboman tanpa henti yang mengguncang seluruh Jalur Gaza.
Puluhan warga Palestina, termasuk rekan-rekan jurnalis dan fotografer, berkumpul di halaman rumah sakit untuk melaksanakan salat jenazah. Di antara
Warga Palestina memeriksa dampak serangan udara Israel yang menargetkan sebuah tenda jurnalis di depan Rumah Sakit Al-Shifa, sebelah barat Gaza City, pada 11 Agustus 2025. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)
mereka terdapat anggota keluarga, rekan kerja, dan warga yang telah mengetahui pekerjaan para jurnalis tersebut selama bertahun-tahun.
Para korban tersebut adalah Anas al-Sharif dan Mohammed Qreiqeh,
koresponden Al Jazeera di Gaza City dan Gaza utara, fotografer jurnalistik Ibrahim Zaher dan Momen Aliwa, asisten juru kamera Mohammed Noufal, serta jurnalis lokal Mohammed al-Khalidi. Mereka tewas pada Minggu (10/8) malam waktu setempat ketika sebuah serangan udara menghantam tenda yang mereka gunakan sebagai ruang kerja.
Menurut otoritas pertahanan sipil Gaza, ledakan tersebut membakar tenda para jurnalis, sehingga jenazah dan peralatan mereka hangus tidak dapat dikenali.
"Peristiwa itu sangat mengerikan. Hampir tidak ada yang tersisa dalam kondisi utuh," ungkap Mahmoud Basal, juru bicara badan pertahanan sipil Palestina, kepada Xinhua.
Warga setempat mengatakan bahwa serangan tersebut telah membungkam enam suara yang mendokumentasikan perang sejak awal konflik.
"Mereka adalah mata dan telinga kami," ujar Om Nidal, seorang ibu dari empat anak di Gaza City. "Kami melihat mereka bergerak di sepanjang jalan saat terjadi serangan bom, mendokumentasikan rumah-rumah kami yang hancur. Kini mereka telah tiada, dan rasanya seperti kami kehilangan sebagian suara kami."
"Kehilangan ini tak tertahankan," kata Mohammed al-Khatib, seorang reporter yang berbasis di Gaza dan pernah bekerja bersama para korban. "Mereka membawa kamera, bukan senjata. Setiap hari, mereka mempertaruhkan nyawa mereka untuk menunjukkan kepada dunia kebenaran tentang apa yang kami alami di sini."
Wafaa Helles, seorang jurnalis Palestina yang mengungsi dari rumahnya, mengatakan bahwa kematian tersebut memberikan dampak yang mendalam bagi komunitas media di Gaza.
"Kami menyadari bahaya meliput berita di zona perang," tuturnya kepada Xinhua. "Namun, kehilangan enam rekan kerja dalam semalam terasa seperti pesan bahwa bahkan pers pun tidak luput dari tembakan."
Militer Israel pada Ahad yang sama mengatakan bahwa serangan tersebut menargetkan al-Sharif, dengan tudingan bahwa al-Sharif merupakan pemimpin sel Hamas yang terlibat dalam perencanaan serangan roket.
Sejumlah pejabat militer mengeklaim bahwa dokumen yang ditemukan di Gaza mendukung tudingan ini, tetapi Al Jazeera menolak tudingan tersebut dalam sebuah pernyataan, dengan menyebut insiden itu sebagai "serangan terang-terangan lainnya yang telah direncanakan terhadap kebebasan pers."
Al Jazeera menuduh para pejabat Israel melakukan penghasutan terhadap korespondennya dan menyatakan bahwa stafnya sedang menjalankan tugas profesional saat tewas dibunuh.
Hamas mengecam serangan tersebut, menyebutnya sebagai "terorisme kriminal" terhadap pekerja media. Pejabat Otoritas Palestina Hussein al-Sheikh mendeskripsikannya sebagai "kejahatan perang dan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum humaniter internasional".
Kantor media pemerintah yang dikelola Hamas di Gaza menyatakan bahwa peristiwa itu menambah jumlah jurnalis yang tewas di Gaza menjadi 238 orang sejak dimulainya konflik pada 7 Oktober 2023.
Pemakaman para korban berlangsung hanya beberapa jam setelah salah satu malam pengeboman paling intens yang dilakukan Israel dalam beberapa pekan terakhir. Sumber-sumber lokal melaporkan puluhan serangan udara terjadi di seluruh Gaza City dan Khan Younis, disertai dengan tembakan artileri di wilayah Shuja'iyya, al-Tuffah, dan al-Zaytoun.
Bagi para pengungsi, malam itu dipenuhi dengan ketakutan. "Kami tidak bisa tidur," ujar Nelly al-Masri, yang mengungsi di pusat Gaza. "Ledakan datang dari segala arah. Kami tidak tahu apakah kami akan bertahan hingga pagi."
Laporan: Redaksi