Kenaikan tarif besar-besaran yang diberlakukan oleh AS terhadap berbagai negara sejak sebelumnya pada tahun ini telah menimbulkan dampak negatif yang sistemik terhadap perekonomian AS.
Kenaikan tarif besar-besaran yang
diberlakukan oleh AS terhadap berbagai negara sejak sebelumnya pada tahun ini telah menimbulkan dampak negatif yang sistemik terhadap perekonomian AS. Sejumlah indikator ekonomi baru-baru ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut semakin menimbulkan kerugian, seperti memicu ketidakpastian, membebani bisnis di AS, serta meningkatkan biaya bagi konsumen.
Kinerja ekonomi AS secara keseluruhan mengalami penurunan signifikan. Berdasarkan laporan terbaru World Economic Outlook (WEO) yang dirilis oleh Dana Moneter Internasional (IMF), proyeksi pertumbuhan ekonomi AS untuk tahun ini direvisi turun sebesar 0,9 poin persentase menjadi 1,8 persen, menjadikannya penurunan terbesar di antara negara-negara maju.
Pasar keuangan juga menunjukkan tanda-tanda tekanan. Indeks dolar AS turun lebih dari 4,5 persen pada April lalu, berulang kali anjlok di bawah ambang batas 100 poin. Pada saat yang sama, obligasi Departemen Keuangan AS juga mengalami tekanan, dengan imbal hasil obligasi bertenor 30 tahun melonjak melampaui 5 persen, mendekati level tertinggi yang belum pernah terjadi selama hampir dua dekade terakhir.
Sektor industri mengalami pertumbuhan dengan momentum yang melemah akibat beban biaya yang terus meningkat. Produksi industri tercatat menurun 0,2 persen secara bulanan (month on month) pada Mei, sementara Indeks Manajer Pembelian (purchasing managers' index/PMI) Manufaktur AS untuk April, yang dirilis oleh Institute for Supply Management, turun menjadi 48,7, jauh di bawah ambang batas yang menandakan ekspansi, sekaligus menjadi level terendah dalam lima bulan terakhir.
Dampak kenaikan tarif kemungkinan paling terlihat di sektor-sektor industri utama. Di sektor otomotif, para
dealer dalam negeri menghadapi keterbatasan pasokan dan kenaikan harga. S&P Global Mobility memproyeksikan bahwa produksi kendaraan di Amerika Utara akan turun sekitar 1,28 juta unit tahun ini, sementara penjualan mobil di AS diperkirakan turun sebanyak 700.000 unit.
Sektor properti mencerminkan kondisi serupa. Menurut Associated Builders and Contractors AS, harga
input konstruksi meningkat dengan laju tahunan sebesar 9,7 persen pada kuartal pertama (Q1). Selain itu, penjualan rumah pada Maret mengalami penurunan bulanan terbesar sejak 2022, dengan persediaan rumah baru mendekati level yang terakhir kali terlihat pada akhir 2007.
Selain itu, sektor pertanian juga turut merasakan dampaknya. Tarif terhadap
input bahan baku impor meningkatkan biaya produksi, sementara tindakan balasan dari mitra-mitra dagang memperburuk prospek ekspor. Perusahaan agribisnis besar AS seperti ADM dan Bunge melaporkan penurunan gabungan dalam laba operasional Q1 sekitar 557 juta dolar AS.
Secara keseluruhan, angka-angka ini menunjukkan tren yang lebih luas, yakni langkah-langkah proteksionis justru dapat memperparah kerentanan ekonomi alih-alih melindunginya.
Kenaikan tarif AS juga membebani kalangan bisnis dan konsumen.
Bagi banyak perusahaan, beban gabungan dari tarif yang lebih tinggi, kelebihan persediaan, dan arus kas yang semakin ketat telah secara signifikan mengurangi profitabilitas. Sejumlah perusahaan terkemuka seperti PepsiCo, Procter & Gamble, dan Target semuanya telah menurunkan proyeksi pendapatan mereka.
Ketidakpastian yang kian meningkat memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dan gelombang kebangkrutan. Stellantis, salah satu dari Tiga Besar (Big Three) produsen mobil, baru-baru ini melakukan PHK terhadap 900 pekerja, sementara Volvo memangkas jumlah tenaga kerjanya di AS sebanyak 800 orang. Menurut S&P Global, kebangkrutan perusahaan besar pada Q1 mencapai level tertinggi dalam 15 tahun terakhir.
Para konsumen juga merasakan dampaknya secara langsung. Tarif yang diberlakukan berkontribusi terhadap lonjakan harga barang kebutuhan sehari-hari. Harga telur melonjak lebih dari 60 persen secara tahunan (year over year/yoy) pada Maret, mencapai rekor tertinggi sebesar 6,23 dolar AS per lusin. Di platform Amazon, hampir 1.000 produk mengalami kenaikan harga rata-rata sekitar 30 persen pada April, mayoritas di antaranya disebabkan oleh tarif untuk barang impor dari China.
Sebuah studi dari Yale Budget Lab memperkirakan bahwa harga pakaian dan alas kaki masing-masing berpotensi naik sekitar 14 persen dan 15 persen dalam jangka pendek, serta bahwa kebijakan tarif saat ini berpotensi membebani setiap rumah tangga di AS sebesar 2.800 dolar per tahun.
Kenaikan tarif tidak hanya memengaruhi perekonomian AS, tetapi juga memperburuk hubungan dengan negara-negara sekutu. Survei European Council on Foreign Relations (ECFR) menunjukkan bahwa hanya 22 persen warga Eropa yang kini menganggap AS sebagai sekutu yang dapat diandalkan, sementara jajak pendapat YouGov mengungkap dukungan kuat di Jerman, Swedia, dan Denmark terhadap penerapan tarif balasan.
Ketegangan ini tercermin dalam data perdagangan. Pendaftaran kendaraan Tesla di Uni Eropa (UE) anjlok 45 persen pada Q1, McDonald's membukukan penurunan penjualan global pertamanya sejak 2020, dan jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke AS turun 11,6 persen pada Maret, penurunan tajam terbesar sejak awal pandemik. Goldman Sachs memperkirakan penurunan di sektor pariwisata ini dapat merugikan AS hingga 90 miliar dolar pada 2025.
Seiring dengan semakin banyaknya bukti yang bermunculan, mungkin sudah saatnya untuk mengevaluasi kembali dampak dari eskalasi tarif. Penggunaan tarif yang berlebihan oleh AS dan unilateralisme, proteksionisme, serta tekanan ekonomi yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif ini semakin menunjukkan sifatnya yang tidak berkelanjutan.
Lagipula, tidak akan ada pemenang dalam perang tarif.
SelesaiPenulis: Mei Xing, merupakan seorang pengamat urusan internasional. Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini merupakan pandangan penulis, dan tidak selalu mencerminkan kebijakan dan pendapat redaksi.