Keragaman genetik banteng Jawa menurun, menjadikan hewan endemik Indonesia ini semakin sulit beradaptasi menghadapi perubahan iklim, kehilangan habitat, hingga ancaman penyakit.
Pasuruan, Jawa Timur (Indonesia Window) — Ancaman terhadap kelestarian banteng Jawa (Bos javanicus) tidak lagi sebatas perburuan dan penyusutan habitat. Dalam jangka panjang, menurunnya keragaman genetik justru menjadi persoalan krusial yang dapat membuat hewan endemik Indonesia semakin sulit
beradaptasi menghadapi perubahan iklim, kehilangan habitat, hingga ancaman penyakit.
Peringatan tersebut disampaikan Eko Windarto, kurator mamalia di Prigen Conservation Breeding Ark (PCBA), saat kegiatan
Media Trip ke PCBA, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, pada Kamis (18/12).
“Salah satu ancaman jangka panjang banteng adalah menurunnya keragaman genetik. Kalau genetiknya sempit, banteng akan sulit beradaptasi dengan perubahan lingkungan atau saat menghadapi penyakit,” ujar Eko.
Menurutnya, kondisi populasi banteng di lembaga konservasi (LK) saat ini menghadapi keterbatasan serius dalam mendapatkan
fresh blood atau darah baru dari alam. Akibatnya, pilihan indukan sangat terbatas.
“Kalau di satu kebun binatang hanya ada sepasang banteng, itu berisiko tinggi terjadi
inbreeding. Berbeda dengan lembaga seperti Taman Safari Indonesia yang punya beberapa individu sehingga rotasi induk masih memungkinkan,” jelasnya.
Eko menerangkan, pelepasliaran banteng ke alam tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa. “Jangan sampai saat dilepasliarkan, kondisi genetiknya sudah buruk. Di alam nanti justru makin rentan penyakit, tubuh mengecil, dan populasinya makin melemah,” katanya.
Banteng di lembaga konservasiSaat ini, populasi banteng ex-situ (di luar habitat alami) di Indonesia tercatat 67 individu, terdiri atas 23 jantan dan 39 betina, yang tersebar di tujuh lembaga konservasi (LK).
Data kelahiran menunjukkan tren meningkat, meski sempat melambat. Pada 2019 ada e kelahiran), 2021 (3), 2022 (1), 2023 (3), dan 2024 (5 kelahiran).
“Di satu sisi kami ingin menambah populasi, tapi di sisi lain khawatir mengawinkan karena risiko
inbreeding,” kata Eko.
Upaya perbaikan mulai menunjukkan hasil pada 2025. Hingga akhir tahun, kelahiran banteng hampir mencapai target tahunan 10 ekor, dengan total 9 kelahiran yang tersebar di
Taman Safari Bogor, Prigen, Taman Safari Bali, kebun binatang Ragunan, dan Cagar Alam Pananjung di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.
Eko menguraikan, untuk mengatasi persoalan genetik, pelestarian banteng dilakukan secara kooperatif antar-lembaga konservasi, termasuk perpindahan individu. Sebanyak enam lembaga direkomendasikan untuk saling bertukar banteng betina dan jantan guna memperluas variasi genetik. Dua banteng bernama Dewa dan Titus bahkan dijadwalkan segera dipindahkan ke Kebun Binatang Surabaya karena pejantan di sana sudah tidak produktif.
“Banteng bisa produktif usia 15–16 tahun, tapi di lembaga konservasi bisa diupayakan sampai 26 tahun karena sebagian besar adalah F-0 (generasi pertama) dari alam,” ujarnya.
Foto tak bertanggal ini menunjukkan banteng Jawa (Bos javanicus), salah satu hewan endemik Indonesia yang terancam punah. (Taman Safari Indonesia)
Tantangan pelepasliaran Konservasi in-situ banteng Jawa juga dilakukan melalui penguatan data populasi di sejumlah taman nasional seperti Alas Purwo di Kabupaten Banyuwangi, Meru Betiri (Pantai Selatan Jawa Timur) dan Baluran (Kabupaten Situbondo). Jumlah seluruhnya diperkirakan 150–200 ekor banteng. Baluran bahkan telah mengajukan permohonan tambahan satu betina untuk diversifikasi genetik.
Eko memaparkan, salah satu upaya pelepasliaran paling menantang dilakukan di Cagar Alam Pananjung, Jawa Barat. Populasi banteng di kawasan itu sempat dinyatakan punah setelah satu-satunya betina mati pada 2023. Melalui kolaborasi dengan Kementerian Kehutanan dan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam), empat banteng dilepasliarkan secara bertahap pada 25 Desember 2024, melalui proses habituasi ketat, pagar listrik sementara, dan penggiringan pakan selama beberapa hari.
“Kita tidak bisa langsung lepas liar penuh. Kalau sakit setelah dilepas, kita bisa rugi. Maka ada masa adaptasi, observasi perilaku kawin, sosial, hingga kesehatan,” kata Eko.
Dengan langkah-langkah tersebut, upaya membuahkan hasil. Banteng menunjukkan perilaku alami seperti
grazing (merumput dan memamahbiak)
, foraging (meramban daun-daun)
, pembentukan teritori, hingga kawin.
Bahkan, kehadiran banteng memancing satwa lain seperti rusa kembali mendekat ke area tersebut. Dari proses itu, lahir dua anakan pada 2025, dinamakan Exploitasia pada 27 Juli 2025 dan Haruni pada 7 Agustus 2025.
Genetik kunci masa depanPCBA bersama lembaga konservasi lain kini mengumpulkan data genetik banteng. Sampel darah dari 31 banteng telah dikoleksi untuk analisis DNA, yang direncanakan disekuensing oleh BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Selama ini, penelusuran garis keturunan masih mengandalkan catatan manual antar-kebun binatang.
Selain itu, PCBA Prigen menjadi satu-satunya lokasi di Indonesia yang memiliki laboratorium dan bank sperma banteng Jawa, dengan cadangan sekitar 150
straw. “Kalau terjadi bencana alam atau perpindahan satwa makin sulit, tapi kita masih bisa memindahkan material genetik lewat inseminasi buatan, seperti pada sapi,” ujar Eko.
Dia menegaskan, tantangan konservasi banteng Jawa akan semakin kompleks karena keterbatasan kandang, biaya dan izin perpindahan yang rumit, logistik satwa besar, hingga risiko penyakit seperti penyakit mulut dan kuku. Namun, menjaga keragaman genetik banteng Jawa tetap menjadi kunci.
Laporan: Redaksi