Lumpia Semarang sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO semakin mengukuhkan posisinya, bukan hanya sebagai makanan khas, tetapi juga sebagai warisan budaya yang memiliki nilai historis, filosofis, dan sosial yang mendalam.
Jakarta (Xinhua/Indonesia Window) – Lumpia Semarang, sebuah hidangan sederhana berbentuk gulungan, telah lama menjadi simbol kuliner yang tak terpisahkan dari identitas Kota Semarang. Lebih dari sekadar kudapan, lumpia merepresentasikan sejarah panjang akulturasi budaya, keberanian berinovasi, dan peran pentingnya sebagai jembatan sosial yang menghubungkan berbagai etnis.
Pada 2014, ditetapkannya lumpia Semarang sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh
UNESCO semakin mengukuhkan posisinya, bukan hanya sebagai makanan khas, tetapi juga sebagai warisan budaya yang memiliki nilai historis, filosofis, dan sosial yang mendalam.
Kisah cinta di Olympia Park Sejarah lumpia Semarang dimulai pada abad ke-19, berawal dari sebuah kisah cinta yang menjadi fondasi kuliner lintas budaya. Cerita ini berpusat pada perjumpaan seorang pedagang asal Fujian, China, bernama Tjoa Thay Joe, dengan Wasih, seorang pedagang pribumi Jawa. Tjoa Thay Joe menjajakan hidangan khas China berupa gulungan berisi rebung dan daging babi. Sementara, Wasih menjual makanan serupa dengan cita rasa yang lebih manis serta memiliki isian kentang dan udang.
Pertemuan mereka terjadi di Olympia Park, sebuah pasar malam Belanda yang menjadi pusat keramaian dan perdagangan di Semarang kala itu. Alih-alih bersaing, kedua pedagang ini justru menjalin hubungan asmara yang berujung pada pernikahan. Setelah menikah, mereka menggabungkan bisnis dan resep mereka, menciptakan sebuah hidangan baru yang mewakili perpaduan budaya China dan Jawa.
Perubahan paling signifikan yang mereka lakukan adalah menghilangkan isian daging babi dan menggantinya dengan ayam atau udang, sambil tetap mempertahankan rebung sebagai isian utama. Keputusan ini bukan hanya sekadar adaptasi kuliner, melainkan langkah strategis yang didorong oleh konteks sosial dan agama. Dengan menghilangkan bahan babi, hidangan ini menjadi dapat diterima secara luas oleh masyarakat pribumi Jawa yang mayoritas beragama Islam.
Perubahan ini mengubah lumpia dari makanan etnis menjadi hidangan ‘merakyat’ yang dimiliki dan dinikmati oleh semua kalangan, menjembatani kesenjangan budaya dan agama. Hubungan romantis Tjoa Thay Joe dan Wasih tidak hanya melahirkan sebuah resep baru, tetapi juga membuka jalan bagi lumpia untuk beradaptasi, memperluas pasarnya, dan menjadi simbol nyata dari harmoni dan integrasi budaya di Semarang.
Popularitas makanan ini mulai meningkat ketika Jakarta menjadi tuan rumah Games of the New Emerging Forces (GANEFO) pada 1963. Pada ajang olahraga internasional ini, banyak pedagang menjajakan lumpia Semarang, memperkenalkan cita rasanya kepada para peserta dan pengunjung dari berbagai negara.
Lahirnya dinasti lumpiaKesuksesan Tjoa Thay Joe dan Wasih diteruskan oleh anak-anak mereka. Siem Gwan Sing dan Siem Hwa Noi membuka usaha lumpia mereka di daerah Mataram, sementara Siem Swie Kiem meneruskan bisnis keluarga di Gang Lombok Nomor 11. Dari sinilah, sebuah ‘dinasti’ lumpia legendaris di Semarang mulai terbentuk.
Lumpia Gang Lombok, yang dikelola oleh generasi keempat, Purnomo Husodo atau akrab dipanggil Untung, sering disebut sebagai pelopor dan yang tertua di kota ini, dengan usianya yang diperkirakan telah mencapai satu abad lebih.
"Lumpia ini enggak tahu sudah berapa tahun, yang jelas saya generasi keempat. Saya diwarisi bapak, saat bapak sudah berumur 50-an juga. Kalau dihitung dari keluarga pertama sudah satu abad lebih," kata Untung pada 26 Agustus 2025. Dia juga membenarkan bahwa lumpia lahir dari kisah cinta Tjoa Thay Joe dan Wasih.
Keunikan Lumpia Gang Lombok terletak pada komitmennya untuk mempertahankan resep autentik yang diciptakan oleh kakek buyutnya. Di tengah maraknya inovasi, Lumpia Gang Lombok memilih strategi bisnis yang berfokus pada konsistensi autentisitas sebagai daya tarik utama.
Menurut Vincen Setiawan Husodo, anak laki-laki Untung, mereka sengaja mempertahankan menu autentik. "Kalau kita menunya original saja, cuma ada yang goreng atau basah. Kita memang ingin mempertahankan yang original ini, sih," ujarnya saat diwawancarai pada hari yang sama.
Di sisi lain, penjual lumpia legendaris lainnya, seperti Loenpia Mbak Lien dan Lunpia Cik Me Me, telah berinovasi dengan menawarkan varian isian modern yang lebih beragam. Hal ini menunjukkan dua strategi bisnis yang berbeda tetapi sama-sama berhasil.
Konsistensi autentisitas Lumpia Gang Lombok menjadi nilai jual historis yang menarik para pencinta kuliner puritan, sementara inovasi dari penjual lain menjangkau pasar yang lebih luas dan dinamis. Keberadaan kedua pendekatan ini secara bersamaan menunjukkan bahwa lumpia Semarang memiliki ruang yang cukup untuk tradisi dan modernitas.
Varian lumpia basah dan gorengSejak awal, lumpia Semarang telah disajikan dalam dua varian utama, yakni basah dan goreng. Lumpia basah merupakan varian yang disajikan tanpa digoreng. Teksturnya lebih lembut, kenyal, dan lebih cocok untuk disantap segera di tempat. Daya tahannya relatif singkat, sekitar 8-12 jam di suhu ruang.
Sebaliknya, lumpia goreng diolah dengan teknik
deep frying, menghasilkan kulit yang renyah dan berwarna cokelat keemasan. Varian ini memiliki daya tahan yang lebih lama, hingga 24 jam di suhu ruang.
Adanya dua pilihan ini sejak dulu menunjukkan pemahaman pasar yang cerdas. Lumpia goreng menjadi pilihan utama bagi wisatawan yang ingin membawa pulang oleh-oleh, sementara lumpia basah menawarkan pengalaman kuliner yang autentik dan segar.
Lumpia Semarang sendiri memiliki isian khas berupa rebung muda, telur orak-arik, daging ayam atau udang, serta aneka bumbu. Penggunaan rebung muda yang segar menghasilkan tekstur renyah dengan rasa yang tidak pahit pada hidangan ini.
Etimologi dan filosofiNama ‘lumpia’ sendiri berasal dari dialek Hokkian, yaitu gabungan dari kata ‘lun’ atau ‘lum’, yang berarti lembut atau lunak, dan ‘pia’ yang berarti kue. Makna ‘kue lembut’ ini sangat relevan dengan resep aslinya yang tidak digoreng. Seiring berjalannya waktu dan setelah akulturasi dengan budaya Jawa, lumpia mulai disajikan dalam versi goreng yang renyah.
Selain namanya, bentuk lumpia yang lonjong dan warnanya yang keemasan saat digoreng melambangkan harapan akan kemakmuran dan kekayaan. Filosofi ini berakar kuat dalam tradisi etnis Tionghoa, di mana lumpia sering disajikan saat perayaan Tahun Baru Imlek sebagai simbol keberuntungan.
Seiring dengan penerimaan lumpia oleh masyarakat yang lebih luas, filosofi ini juga ikut meluas. Makna kemakmuran yang diwakilinya tidak lagi terbatas pada satu etnis, melainkan menjadi harapan universal yang bisa diresapi dan dihargai oleh semua orang di Semarang.
Peran lumpia Lumpia tidak hanya berperan sebagai hidangan lezat, tetapi juga sebagai alat pembauran sosial. Cita rasanya yang merakyat dan dapat dinikmati oleh berbagai kalangan telah menjadi perantara yang mempererat hubungan antara etnis Tionghoa peranakan dengan penduduk pribumi. Makanan ini membaurkan adat istiadat dan budaya, menciptakan sebuah harmoni yang dirasakan melalui indra perasa.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, ketika kebijakan politik menekan ekspresi budaya Tionghoa, keberadaan lumpia tetap tidak terpengaruh. Sementara perayaan atau pertunjukan budaya lain, seperti barongsai, sempat dilarang, lumpia terus berkembang dan dinikmati secara luas. Fenomena ini dapat dilihat sebagai manifestasi
soft power budaya.
Lumpia Semarang lebih dari sekadar makanan. Kuliner ini menjadi sebuah artefak hidup yang menceritakan sejarah, akulturasi, dan harmoni. Berawal dari sebuah kisah cinta yang menyatukan dua kebudayaan, lumpia berhasil berevolusi menjadi hidangan yang diterima secara luas oleh masyarakat.
Perkembangan resepnya, dari bahan autentik hingga varian modern, serta inovasi dalam pengemasan dan logistik, menunjukkan kemampuan lumpia untuk beradaptasi dengan dinamika zaman tanpa kehilangan identitas aslinya. Pengakuan UNESCO pada 2014 menggarisbawahi peran penting lumpia Semarang sebagai warisan budaya takbenda dan daya tarik pariwisata utama.
Pada akhirnya, lumpia Semarang adalah bukti nyata dari kekuatan kuliner sebagai jembatan yang dapat menyatukan individu-individu, menembus perbedaan etnis, agama, dan waktu.
Makanan ini menjadi warisan yang terus hidup, dinikmati, dan dirayakan oleh setiap generasi yang berkunjung ke Kota Semarang.
Laporan: Redaksi