Pembangkit listrik insinerasi (pembakaran) limbah di Xinxiang, Provinsi Henan, China tengah, dapat mengubah 1.800 ton limbah menjadi listrik dan berfungsi sebagai pusat energi bagi kota.
Beijing, China (Xinhua/Indonesia Window) – Di sebuah pembangkit listrik
insinerasi (pembakaran) limbah di Xinxiang, Provinsi Henan, China tengah, capit-capit baja raksasa bergerak dengan mulus, memindahkan tumpukan sampah kota ke dalam ruang fermentasi.
Setelah terurai cukup baik, limbah tersebut kemudian dimasukkan ke dalam insinerator, di mana suhu panas yang sangat tinggi mengubah air menjadi uap untuk menggerakkan turbin guna menghasilkan listrik.
"Fasilitas ini setiap hari mengubah 1.800 ton limbah menjadi listrik dan berfungsi sebagai pusat energi bagi kota," ungkap Wang Limin, penanggung jawab fasilitas pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) tersebut.
Fasilitas
pengolahan limbah menjadi energi itu merupakan salah satu dari banyak pabrik pengolah limbah menjadi energi canggih di seluruh China yang mengubah sampah menjadi energi melalui teknologi mutakhir, menyediakan listrik bersih untuk rumah tangga dan mengurangi emisi karbon.
Di masa lalu, China menggunakan tempat pembuangan akhir (TPA) sebagai metode utama untuk pembuangan sampah. Metode ini yang menimbulkan risiko bagi tanah, air tanah, dan kualitas udara. Didorong oleh semakin meningkatnya kesadaran terhadap lingkungan, China mentransformasi paradigma pengelolaan sampahnya selama dua dekade terakhir dengan mendorong teknologi insinerasi sampah yang lebih bersih dan efisien.
Saat ini, lebih dari 1.000 fasilitas insinerasi berskala besar beroperasi di seluruh China, mengolah lebih dari 1,1 juta ton limbah setiap hari, yang setara dengan mengisi 440 kolam renang berstandar Olimpiade (masing-masing berkapasitas 2.500 ton air).
Kematangan teknologi juga sangat menonjol. Terobosan dalam sistem pengendalian pembakaran, solusi pengolahan gas buang (flue gas), dan pemantauan emisi secara waktu nyata (real-time) telah mendorong China menempati posisi terdepan di kancah global.
Standar emisi nasional China untuk PLTSa sesuai dengan standar terbaru Uni Eropa (UE), menjadikannya salah satu negara di antara negara-negara paling ketat di dunia dalam hal standar emisi nasional. Beberapa wilayah, termasuk Beijing, Tianjin, Shanghai, Jiangsu, dan Zhejiang, bahkan telah menerapkan peraturan lokal yang lebih ketat yang melebihi ambang batas UE.
"Dengan mengadopsi teknologi tungku kisi (grate furnace) yang dikembangkan secara domestik dan dilindungi hak kekayaan intelektual, kami telah mencapai efisiensi termal 40 persen lebih tinggi dibandingkan satu dekade lalu," kata Ma Kejun, wakil manajer umum sebuah PLTSa di Kawasan Baru Xixian di Provinsi Shaanxi.
"Pada suhu hampir 1.000 derajat Celsius, limbah akan terbakar sepenuhnya, dan laporan pemantauan kami menunjukkan bahwa emisi dioksin hanya sepersepuluh dari batas yang ditetapkan EU," ujar Ma.
Keunggulan teknis tersebut kini menjadi pendorong ekspansi internasional. Hingga Mei 2025, perusahaan-perusahaan China telah berpartisipasi dalam atau mendapatkan kontrak untuk 79 proyek insinerasi limbah di luar negeri yang tersebar di Asia, Afrika, Eropa, Oseania, Amerika Selatan, dan Amerika Utara.
"Industri insinerasi limbah di China telah berkembang dari 'pembuangan yang aman' menjadi 'pemanfaatan sumber daya berefisiensi tinggi'," sebut Xie Yuhong, wakil ketua sekaligus sekretaris jenderal Federasi Lingkungan Hidup Seluruh China (All-China Environment Federation), sembari menyerukan kolaborasi internasional untuk mengatasi krisis limbah global.
Semakin canggihnya teknologi insinerasi bukan berarti memberi kita kebebasan untuk terus-menerus menghasilkan limbah.
"Insinerasi hanyalah solusi akhir yang tidak efektif, biaya finansial dan ekologisnya jauh lebih besar dibandingkan pengurangan limbah yang menjadi sumbernya," kata Zhang Jingning, seorang aktivis lingkungan.
Ma Wenchao, seorang profesor dari Sekolah Teknik dan Ilmu Lingkungan Universitas Tianjin, menjelaskan bahwa pertumbuhan pesat
e-commerce, layanan pengiriman makanan, dan jasa kurir telah menyebabkan lonjakan limbah plastik kemasan sekali pakai.
Karena produksi plastik bergantung pada bahan bakar fosil, seluruh siklus hidupnya – mulai dari proses manufaktur hingga insinerasi – menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar yang mempercepat perubahan iklim. "Pada akhirnya, hal ini tidak hanya merugikan kita sendiri, tetapi juga generasi mendatang," papar Ma, mendesak upaya-upaya yang lebih kuat untuk mengurangi limbah di sumbernya dan meningkatkan pemilahan limbah.
Secara global, pendekatan 3R –
Reduce (mengurangi penggunaan produk),
Reuse (memperpanjang masa pakai produk), dan
Recycle (mendaur ulang material untuk produksi baru) -- menjadi panduan dalam pengelolaan limbah berkelanjutan. China mengadopsi prinsip yang sama dalam Undang-Undang Promosi Ekonomi Sirkular pada 2008, menjadikannya negara ketiga di dunia yang memberlakukan undang-undang khusus tentang ekonomi sirkular.
Dengan menggandakan komitmen pada prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle), China dapat mengurangi limbah di sumbernya dan meningkatkan sistem pemilahan limbah untuk mempercepat kemajuannya menuju ekonomi sirkular, demikian menurut para ahli.
Laporan: Redaksi