Rusia menolak ultimatum 50 hari yang diberikan Presiden AS untuk memaksa negara itu menyetujui gencatan senjata Ukraina. Rusia juga menolak ancaman "tarif berat" yang dikeluarkan Donald Trump, menyebutnya sebagai hal yang tidak dapat diterima.
Moskow/Kiev, Rusia/Ukraina (Xinhua/Indonesia Window) – Rusia pada Selasa (15/7) menolak ultimatum 50 hari yang diberikan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk memaksa negara itu menyetujui gencatan senjata Ukraina. Rusia juga menolak ancaman "tarif berat" yang dikeluarkan Trump, menyebutnya sebagai hal yang tidak dapat diterima.
Wakil Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergey Ryabkov menekankan bahwa Moskow mendukung resolusi diplomatik untuk konflik Ukraina dan bersedia memulai perundingan.
"Namun, jika hal ini tidak mendapat respons yang tepat, dan tujuan yang telah ditetapkan gagal dicapai melalui diplomasi, maka operasi militer khusus akan terus berlanjut," katanya, seraya menambahkan bahwa posisi Moskow tidak tergoyahkan. "Kami berharap Washington dan NATO menanggapi hal ini dengan serius."
Penolakan tersebut terjadi hanya beberapa hari setelah Trump, yang berbicara di kantor Oval bersama Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte, menyatakan bahwa pemerintah AS akan memberlakukan "tarif yang sangat berat" kepada Rusia jika kesepakatan gencatan senjata tidak tercapai dalam waktu 50 hari.
Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menjelaskan bahwa ketika Trump menyebut tarif sekunder sebesar 100 persen, yang dimaksudnya adalah "sanksi ekonomi".
Menurut Duta Besar AS untuk NATO Matt Whitaker, tarif-tarif ini akan "berdampak serius terhadap perekonomian Rusia," saat merujuk pada sanksi-sanksi sekunder yang diterapkan terhadap negara-negara yang membeli minyak dari Rusia.
Terlepas dari konflik Rusia-Ukraina, Washington terus mengimpor sejumlah besar barang asal Rusia, terutama pupuk, bahan kimia anorganik, dan bahan nuklir, di mana Rusia masih menjadi pemasok global utama, demikian menurut laporan BBC.
Trump juga mengatakan kepada Rutte bahwa
AS akan memasok senjata ke Ukraina melalui NATO, termasuk sistem rudal Patriot, dengan pengiriman yang akan dilakukan dalam waktu dekat.
Langkah ini diambil ketika para anggota NATO sepakat untuk meningkatkan belanja pertahanan menjadi 5 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2035. Keputusan ini dinilai sejalan dengan dorongan Trump yang sudah lama dia serukan untuk membagi proporsi beban keuangan yang lebih besar.
Perubahan sikap TrumpPada Selasa, hanya sehari setelah mengumumkan kesepakatan senjata NATO dan ancaman tarifnya, Trump mengatakan kepada wartawan bahwa dirinya tidak memihak pada siapa pun.
Dia juga menyarankan agar Ukraina tidak menyerang Moskow. Hal ini bertentangan dengan laporan yang menyatakan bahwa Trump telah menanyakan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky tentang apakah Ukraina mampu menargetkan Moskow dan St. Petersburg jika dipasok dengan senjata jarak jauh.
"Volodymyr, bisakah Anda menghantam Moskow? ... Bisakah Anda menghantam St. Petersburg juga?" Demikian dugaan bunyi pertanyaan Trump dalam sebuah panggilan telepon pada 4 Juli, menurut dua narasumber yang dikutip oleh Financial Times. Menurut laporan, Zelensky menjawab, "Tentu saja. Kami bisa jika Anda memberi kami senjata."
Trump membantah dugaan tersebut. Namun, hal ini menandai kembalinya Trump ke pola lama dalam kebijakan luar negerinya.
Setelah pelantikannya, Trump mengirim utusan ke Arab Saudi untuk melakukan pembicaraan dengan para pejabat Rusia, tanpa partisipasi Ukraina, dan secara terbuka mencela Zelensky yang menurutnya "tidak tahu berterima kasih", dalam sebuah pertemuan pada Februari di Gedung Putih.
Dia kemudian membekukan bantuan militer senilai 1 miliar dolar AS untuk Ukraina, dengan alasan bahwa Kiev memperlambat proses perdamaian. Namun, pada Juli, Trump berbalik arah, melanjutkan pengiriman senjata, mengesahkan sistem Patriot, dan mengecam Putin.
*1 dolar AS = 16.288 rupiah
"Saya kecewa padanya, tetapi saya belum selesai dengannya," kata Trump kepada BBC dalam sebuah wawancara pada Selasa. "Yang jelas saya kecewa padanya."
Kebingungan semakin besarTrump mengatakan bahwa beberapa atau semua dari 17 baterai sistem rudal Patriot yang dipesan oleh negara lain dapat dialihkan ke Ukraina "dengan sangat cepat". Duduk di sampingnya, Rutte menggambarkan perjanjian senjata itu sebagai game-changer.
Namun, kejelasan pengiriman tersebut masih belum pasti. Vadym Skibitsky, wakil kepala Intelijen Pertahanan Ukraina, mengatakan kepada The Guardian bahwa klaim 17 sistem Patriot itu membingungkan.
"Kami tidak tahu pasti... 17 adalah jumlah yang sangat besar jika kita berbicara soal baterai. Jika kita berbicara tentang peluncur, maka ini mungkin saja," katanya.
Ini bukan kali pertama kebingungan mencuat usai AS memberikan janji militernya. Awal bulan ini, ada berbagai laporan yang berbeda mengenai apakah Ukraina akan menerima 10 rudal Patriot atau 10 sistem rudal lengkap.
Pengiriman senjata tersebut telah menuai kritik dari Moskow. Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Alexander Grushko pada Selasa mengatakan, "Ini indikasi lainnya bahwa negara-negara NATO benar-benar tidak tertarik untuk menciptakan perdamaian."
Parlemen Ukraina pada Senin (14/7) memilih untuk memperpanjang status masa perang dan mobilisasi militer negara tersebut selama 90 hari, hingga 5 November mendatang. Para anggota parlemen juga menyetujui penarikan diri sementara dari Perjanjian Ottawa yang melarang ranjau darat antipersonel.
Di medan perang,
Rusia dan Ukraina baru-baru ini mengintensifkan serangan
drone. Pada Rabu (16/7), angkatan udara Ukraina mengatakan bahwa Rusia meluncurkan 400
drone dan satu rudal balistik, yang menargetkan tiga kota di Ukraina. Awal bulan ini, Kementerian Pertahanan Rusia mengklaim telah berhasil menjatuhkan 402
drone dan mencegat tujuh bom udara berpanduan Ukraina hanya dalam waktu beberapa hari.
Laporan: Redaksi