Algoritma kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dapat memperkirakan keberadaan lemak berbahaya tersembunyi, atau lemak viseral, dari pemindaian kepadatan tulang yang digunakan untuk mendeteksi patah tulang belakang.
Sydney, Australia (Xinhua/Indonesia Window) – Tim peneliti di Australia sedang mengembangkan algoritma kecerdasan buatan (
artificial intelligence/AI) yang dapat memperkirakan keberadaan lemak berbahaya tersembunyi, atau
lemak viseral, dari pemindaian kepadatan tulang yang digunakan untuk mendeteksi patah tulang belakang.
Lemak viseral, lemak perut bagian dalam yang berbahaya dan menyelimuti organ tubuh, merupakan "biang masalah" yang erat kaitannya dengan berbagai masalah kesehatan serius, seperti penyakit jantung, diabetes, dan kanker, demikian menurut pernyataan yang dirilis oleh Edith Cowan University (ECU) Australia pada Kamis (4/9).
Tim ECU sedang melatih algoritma pembelajaran mesin (machine learning) milik mereka untuk menganalisis pemindaian tulang belakang lateral dengan metode
Dual-energy X-ray Absorptiometry (DXA), yang digunakan untuk memeriksa kepadatan tulang, guna memprediksi tingkat lemak viseral secara akurat dari citra tersebut. Cara ini menawarkan wawasan kesehatan baru yang berharga tanpa memerlukan pemeriksaan tambahan.
Metode-metode estimasi tingkat lemak viseral yang ada saat ini, seperti indeks massa tubuh, lingkar pinggang, dan rasio pinggang-pinggul, memiliki keterbatasan karena tidak dapat membedakan berbagai jenis lemak tubuh yang berbeda-beda, sehingga kerap menimbulkan penilaian obesitas yang tidak konsisten, ujar para peneliti.
Teknik-teknik pencitraan, seperti MRI dan CT, memberikan pengukuran lemak viseral yang akurat namun biayanya mahal. Selain itu, dalam kasus CT, pasien juga terpapar tingkat radiasi yang lebih tinggi, imbuh para peneliti.
"Model pembelajaran mesin ini telah dilatih dengan ribuan citra; langkah selanjutnya adalah mengintegrasikan kumpulan data lanjutan dari seluruh dunia, sehingga mesin tersebut dapat mempelajari kohort terbesar dan paling beragam yang tersedia agar bisa menjadi seefektif mungkin," papar Syed Zulqarnain Gilani, dosen senior sekaligus ilmuwan AI terkemuka di ECU.
Laporan: Redaksi