AS menjatuhkan bom atom masing-masing di Hiroshima dan Nagasaki guna mempercepat penyerahan diri Jepang dalam Perang Dunia II.
Hiroshima, Jepang (Xinhua) – Pada 6 Agustus, Hiroshima kembali menjadi panggung bagi peringatan yang khidmat. Lonceng berdentang dan burung-burung merpati dilepaskan saat warga berkumpul di Taman Peringatan Perdamaian untuk memperingati 80 tahun peristiwa bom atom.
Serangkaian pidato disampaikan, karangan bunga diletakkan, dan kengerian perang nuklir dikenang dengan penuh duka. Namun, di balik ritual dan retorika tersebut, terdapat kekosongan yang terus mengendap, ketidakmauan untuk sepenuhnya menghadapi alasan sebenarnya mengapa bom tersebut dijatuhkan.
Narasi publik di Jepang masih berpusat pada posisi sebagai korban. Mayoritas responden yang diwawancarai dalam upacara tersebut, mulai dari mahasiswa hingga pengunjung berusia paruh baya, mengungkapkan kesedihan atas kehancuran yang terjadi, tetapi menunjukkan pemahaman yang minim terhadap konteks historis peristiwa itu.
"Saya tidak begitu memikirkan tentang hal itu," ungkap seorang keturunan penyintas bom atom. "Kami tidak lahir pada masa itu, jadi kami memang benar-benar tidak tahu."
Beberapa murid sekolah menengah yang mengunjungi Taman Peringatan Perdamaian Hiroshima juga mengutarakan pandangan serupa. "Yang kami ketahui karena di Hiroshima pernah ada fasilitas militer," ujar salah satu dari mereka.
Seorang pengunjung berusia 40-an tahun menyampaikan pengamatan yang lebih kritis. "Saya membaca bahwa kala itu perang hampir berakhir ketika bom dijatuhkan dan bahwa Amerika Serikat (AS) menggunakannya sebagai eksperimen. Jika benar, itu sungguh mengerikan," katanya.
Suara-suara tersebut menyoroti ingatan nasional yang lebih dibentuk oleh narasi sebagai korban daripada oleh pengakuan penuh terhadap penyebab dan konsekuensi perang. Hal tersebut mencerminkan bagaimana
Jepang mengingat sekaligus melupakan masa lalunya semasa perang.
Meskipun bekas luka fisik akibat kehancuran bom nuklir didokumentasikan dengan teliti di museum dan monumen peringatan, perilaku agresif Jepang selama masa perang justru cenderung diredam dalam wacana publik maupun sistem pendidikan negara.
Di luar upacara resmi, para demonstran antimiliter berkumpul di dekat lokasi ledakan bom atom. Spanduk-spanduk yang mereka bawa mengecam peningkatan anggaran pertahanan Jepang dan kemungkinan adanya kerja sama "berbagi" nuklir dengan AS.
Mereka ditempatkan di luar area acara resmi oleh polisi antihuru-hara, sementara aktivis sayap kanan berusaha membungkam suara mereka dengan pengeras suara.
Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba, dalam pidatonya pada upacara tersebut, menegaskan kembali komitmen Jepang terhadap "Tiga Prinsip Non-Nuklir" (Three Non-Nuclear Principles) Jepang. Wali Kota Hiroshima Kazumi Matsui mengimbau kepada masyarakat untuk mengingat kehancuran akibat senjata nuklir dan meneruskan idealisme perdamaian.
Kendati demikian, tidak ada satu pun dari pejabat itu yang menyebutkan konteks historis di balik pengeboman Hiroshima.
Pada 6 dan 9 Agustus 1945, AS menjatuhkan bom atom masing-masing di Hiroshima dan Nagasaki guna mempercepat penyerahan diri Jepang dalam
Perang Dunia II. Selama beberapa dekade, pemerintah Jepang telah menghindari pengakuan atas perannya dalam perang agresi tersebut, dan justru lebih menampilkan dirinya sebagai korban bom atom. Mereka juga tak banyak menyebut soal penderitaan yang ditimbulkannya terhadap China dan negara-negara Asia lainnya selama Perang Dunia II.
Profesor Emeritus Kumiko Haba dari Universitas Aoyama Gakuin menjelaskan bahwa masyarakat Jepang pascaperang tidak dibangun di atas landasan refleksi mendalam dan penolakan terhadap masa lalunya semasa perang.
"Sayangnya," katanya, "masyarakat Jepang hingga kini masih belum sungguh-sungguh mengakui sejarahnya sebagai bagian dari agresi dan kolonialisme. Sejarah invasi Jepang ke negara-negara tetangga pun sangat jarang diajarkan di sekolah."
Profesor Emeritus Atsushi Koketsu dari Universitas Yamaguchi mengatakan, "Tulisan pada monumen peringatan di Hiroshima berbunyi, 'Biarkan semua jiwa di sini beristirahat dengan damai, karena kami tidak akan mengulangi kesalahan itu', tetapi tidak disebutkan kesalahan siapa yang dimaksud."
Jepang kerap membicarakan masa perang tanpa menyebut subjeknya secara jelas, sehingga tanggung jawab diubah menjadi pelajaran yang bersifat abstrak, paparnya.
Tanpa pengakuan yang jujur terhadap masa lalunya, Jepang berisiko membangun masa depannya berdasarkan ingatan yang tidak utuh. Karena sejatinya, perdamaian membutuhkan lebih dari sekadar berkabung.
Laporan: Redaksi