Jalur Gaza mengalami blokade yang semakin ketat, termasuk larangan masuknya uang tunai, terutama shekel Israel, yang digunakan dalam sebagian besar transaksi sehari-hari.
Gaza, Palestina (Xinhua/Indonesia Window) – Di bawah terik matahari dan di tengah perang yang melanda di sekelilingnya, Abdullah Abed Rabbuh berkeliling di gang-gang yang hancur di bagian barat Gaza City, bukan untuk mencari tempat berlindung atau makanan, melainkan hanya untuk mendapatkan gajinya sendiri. Setelah berjam-jam berjalan, yang dia temukan hanyalah para calo yang meminta lebih dari setengah gajinya.
"Saya berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tapi semuanya mengambil lebih dari setengah gaji sebagai komisi," katanya kepada Xinhua sembari mengusap keringat di dahinya. "Bagaimana mungkin seseorang harus membayar 55 persen hanya untuk mendapatkan uangnya? Saya bahkan tidak bisa membeli tepung untuk anak-anak saya hari ini."
Seperti puluhan ribu warga Palestina di kantung pesisir tersebut, Abed Rabbuh terjebak dalam krisis keuangan yang disebabkan oleh hampir runtuhnya sistem perbankan di tengah serangan militer Israel yang terus berlanjut.
Orang-orang terlihat di pasar utama Deir al-Balah, wilayah tengah Gaza, di tengah kelangkaan uang tunai dan ketidakmampuan masyarakat untuk membeli bahan makanan pokok akibat harga yang tinggi, pada 19 Desember 2024. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)
Sejak dimulainya kampanye militer Israel pada 7 Oktober 2023, Jalur Gaza mengalami blokade yang semakin ketat, termasuk larangan masuknya uang tunai, terutama shekel Israel, yang digunakan dalam sebagian besar transaksi sehari-hari.
Gangguan dalam transfer uang memicu krisis likuiditas, yang menghambat operasional lembaga keuangan dan memaksa penduduk untuk beralih ke perantara yang tidak teregulasi.
Bank-bank di Gaza beroperasi sesekali, dengan sebagian besar cabang bank hancur atau tidak dapat beroperasi akibat kekurangan listrik, internet, atau uang tunai fisik. Dalam ketidakhadiran sistem perbankan formal, jaringan informal para pedagang komisi dan penukar uang tanpa izin mengambil alih peran, sering kali mengenakan biaya yang sangat tinggi sebagai imbalan atas penarikan gaji.
"Saya menerima gaji secara digital, tetapi saya hanya mendapatkan 90 hingga 100 dolar AS dalam bentuk tunai dari total 200 dolar AS, karena sisanya digunakan untuk komisi calo," kata Ahmed Al-Daour (45), seorang pegawai otoritas pendidikan Gaza, kepada Xinhua.
*1 dolar AS = 16.292 rupiah
"Kami membayar harga blokade ini dua kali lipat, pertama melalui pembatasan yang diberlakukan Israel, dan kedua melalui eksploitasi internal," kata ayah lima anak itu.
Seorang pria Palestina memperbaiki uang kertas yang rusak di Kota Khan Younis, wilayah selatan Jalur Gaza, pada 30 September 2024. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)
Laporan PBB pada pertengahan Juni menunjukkan bahwa lebih dari 95 persen rumah tangga mengalami
kesulitan keuangan yang parah, dengan kekurangan uang tunai yang meluas membuat hampir tidak mungkin untuk membeli makanan.
Di jalan-jalan Gaza City, warga kesulitan dengan uang kertas yang sudah lusuh, yang semakin banyak ditolak oleh pedagang.
"Saya berkeliling dari satu kios ke kios lain, tapi tidak ada yang mau menerima uang saya karena kertasnya terlalu lusuh," kata Saleh Faisal (40), warga setempat, kepada Xinhua.
Pedagang kaki lima seperti Mohammed al-Hallaq mengatakan mereka juga terjebak. "Jika kami menerima uang yang sudah lusuh, kami tidak bisa menggunakannya untuk membeli stok baru. Ini lingkaran setan," ujarnya kepada Xinhua dari sebuah kios sayur kecil.
Menurut ekonom Samir Abu Modallalah, seorang profesor di Universitas Al-Azhar sekaligus anggota Serikat Ekonom Palestina, perang telah menyebabkan runtuhnya 98 persen infrastruktur perbankan di Gaza.
"Kita berbicara tentang lebih dari 48,6 miliar dolar yang dijarah selama kekacauan, kerugian langsung melebihi 14 juta dolar, dan portofolio pinjaman yang nilainya telah berkurang lebih dari 1 miliar dolar," katanya kepada Xinhua.
Abu Modallalah mengatakan bahwa inflasi telah melampaui 500 persen di banyak sektor, sementara kiriman uang dari luar negeri, yang pernah menjadi tulang punggung bagi ribuan keluarga, kini semakin banyak mengalir melalui jaringan informal yang memperkuat ekonomi pasar gelap.
Krisis ekonomi juga telah merusak tatanan sosial.
"Dampak psikologisnya mulai terlihat," kata Mona Shehadeh, seorang pekerja sosial dari organisasi bantuan setempat, kepada Xinhua, seraya menambahkan, "Kami melihat lebih banyak perselisihan keluarga, peningkatan angka perceraian, dan kasus depresi yang semakin banyak, bahkan upaya bunuh diri, semua terkait dengan tekanan ekonomi."
Dia menambahkan bahwa kejahatan kecil, pencurian, dan penipuan juga meningkat, didorong oleh
keputusasaan dan keruntuhan jaring pengaman sosial.
Laporan: Redaksi