Pembicaraan gencatan senjata mandek, dengan beberapa kritikus menunjuk dukungan tak tergoyahkan AS untuk Israel sebagai penghalang utama.
Gaza, Palestina (Xinhua/Indonesia Window) – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump baru-baru ini mengakui bahwa
Gaza sedang mengalami "kelaparan nyata," dan mengumumkan rencana untuk mendirikan pusat distribusi makanan baru yang diawasi oleh Israel di wilayah tersebut.
Menyinggung kekacauan dan pembunuhan yang terjadi sebelumnya akibat mekanisme distribusi bantuan yang didukung AS dan Israel di Gaza, para analis dan penduduk Palestina berargumen bahwa perubahan nada bicara Trump belakangan ini hanyalah manuver politik untuk meredam opini publik, dan kecil kemungkinannya akan membawa perubahan nyata dalam kebijakan AS terkait krisis yang sedang berlangsung di Gaza.
"Pengakuan AS atas kelaparan memang penting dari segi hukum dan moral, namun tetap bersifat simbolis jika tidak direalisasikan dengan perubahan kebijakan yang nyata," kata Hussam al-Dajani, analis politik yang berbasis di Gaza, kepada Xinhua.
"Ketika negara terkuat di dunia mengakui kelaparan di suatu tempat, hal ini membawa kewajiban. Namun, alih-alih mengarah pada tindakan perlindungan, ini justru memperkuat mekanisme penderitaan dengan menyerahkan pengawasan bantuan kepada Israel," katanya.
"Pendekatan ini tidak menguntungkan bagi kepentingan penduduk sipil, tetapi justru memperpanjang kerentanan mereka," ujarnya.
Al-Dajani menjelaskan bahwa model bantuan yang sekarang diusulkan oleh AS berisiko mengubah bantuan kemanusiaan menjadi alat politik, bukan sarana untuk meringankan penderitaan.
"Kita melihat sistem bantuan yang dirancang bukan untuk menyelamatkan nyawa, tetapi untuk mengelola dan mengontrol populasi yang sedang dikepung," katanya.
Esmat Mansour, seorang analis politik yang berbasis di Ramallah, mengungkapkan keprihatinan serupa. Dia menggambarkan inisiatif AS itu sebagai legitimasi atas "rezim bantuan" yang sangat terkait dengan struktur militer dan agenda keamanan.
"Israel tidak memberikan bantuan. Israel mengatur akses ke bantuan dengan cara yang sesuai dengan tujuan strategisnya yang lebih luas," kata Mansour kepada Xinhua.
"AS memilih memperkuat kerangka itu daripada mengusulkan mekanisme kemanusiaan independen, semakin mengaburkan batas antara bantuan dan kontrol," katanya.
Seorang anak Palestina yang mengungsi terlihat di sebuah tempat penampungan di Gaza City bagian barat pada 26 Juli 2025. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)
Menurut Mansour, krisis kemanusiaan Gaza bukan hanya akibat perang, tetapi juga sistem kekurangan yang dirancang dengan sengaja.
"Tujuannya tampaknya adalah menjaga agar penduduk tetap dalam kondisi membutuhkan dan kelelahan yang terus-menerus," katanya. "Kelaparan ini digunakan sebagai mekanisme tekanan lunak, dan AS turut bertanggung jawab karena mendukung sistem yang menyebabkan hal tersebut terjadi."
Hani al-Masri, seorang analis yang berbasis di Ramallah, mengatakan kepada Xinhua, "Pengumuman AS kemungkinan besar adalah respons terhadap tekanan internasional yang meningkat dan liputan media global, bukan perubahan kebijakan yang substansial.
"Pengakuan ini tidak berasal dari perhatian kemanusiaan, melainkan semata-mata untuk kebutuhan mengatasi kerusakan citra," kata al-Masri.
Dia memperingatkan bahwa memberi kewenangan kepada Israel untuk mendistribusikan bantuan sementara operasi militernya terus berlanjut dapat membuka jalan bagi "model pendudukan yang diperkuat."
"Menyediakan makanan di tengah serangan, tanpa gencatan senjata, merusak kredibilitas apa pun yang diklaim AS dalam kepemimpinan kemanusiaan," kata al-Masri.
Sejak 2 Maret, blokade Israel terbaru menutup semua perlintasan Gaza, menghentikan pengiriman makanan, bahan bakar, dan obat-obatan ke wilayah kantong tersebut. Pembicaraan gencatan senjata mandek, dengan beberapa kritikus menunjuk dukungan tak tergoyahkan AS untuk Israel sebagai penghalang utama.
Mengeklaim membantu meringankan
situasi kemanusiaan yang memburuk bagi warga Palestina di Gaza, Yayasan Kemanusiaan Gaza (Gaza Humanitarian Foundation) yang didukung AS mendirikan dua pusat distribusi makanan pada akhir Mei. Selanjutnya, dibuka dua pusat tambahan di Gaza tengah dan utara.
Namun, penduduk mengatakan pusat-pusat distribusi makanan ini tidak benar-benar memperbaiki kehidupan mereka atau menghentikan kelaparan mereka.
Otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza pada Rabu (30/7) mengatakan bahwa total 154 orang, termasuk 89 anak-anak, telah meninggal akibat kelaparan dan malnutrisi.
Khaled al-Za'noun, seorang pria Palestina dari lingkungan al-Zeitoun di Gaza City, mengatakan kepada Xinhua, "Setiap kali kami mendengar bahwa sebuah pusat makanan AS telah dibuka ... kami bergegas ke sana, menunggu berjam-jam, dan biasanya pulang dengan tangan kosong."
"Empat pekan lalu, sepupu saya ditembak saat mencoba merebut sekarung tepung. Kami tidak bisa menyelamatkannya. Kami lari menyelamatkan diri," katanya, menilai pusat-pusat itu kacau dan tidak aman.
Di kamp pengungsi Maghazi di Gaza tengah, seorang janda berusia 40 tahun bernama Om Sami al-Sheikh, menunggu selama enam jam di luar pusat distribusi makanan. "Saya pulang dengan tangan kosong."
Bayinya yang berusia 11 bulan, yang terlihat mengalami malanutrisi, terbaring di sisinya saat dia berbicara.
"AS bilang mereka peduli, tetapi mereka membiayai penderitaan ini dan mengirim makanan melalui pusat-pusat yang mempermalukan kami," keluhnya. "Jika mereka benar-benar ingin membantu, kami tidak akan kelaparan seperti ini. Mereka bukan hanya penonton, mereka bagian dari apa yang membunuh kami."
Laporan: Redaksi