Mikroplastik telah terdeteksi menumpuk di otak manusia. Namun, para ahli menegaskan bukti yang ada saat ini belum cukup untuk memastikan apakah hal tersebut membahayakan kesehatan kita.
Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) - Potongan kecil plastik yang disebut mikroplastik telah terdeteksi menumpuk di otak manusia. Namun, para ahli menegaskan bukti yang ada saat ini belum cukup untuk memastikan apakah hal tersebut membahayakan kesehatan kita.
Partikel plastik yang hampir tidak terlihat itu ditemukan di berbagai penjuru dunia, mulai dari puncak gunung hingga dasar laut, di udara yang kita hirup, juga dalam makanan sehari-hari. Mikroplastik bahkan telah ditemukan di dalam tubuh manusia — di paru-paru, jantung, plasenta, dan kini diduga mampu menembus sawar darah-otak.
Fenomena ini menjadi salah satu isu utama dalam perundingan perjanjian global pertama untuk mengatasi polusi plastik (
Global Plastics Treaty). Putaran pembicaraan terbaru di bawah naungan PBB tersebut dijadwalkan berlangsung di Jenewa, Swiss, pada 5-15 Agustus 2025.
Meski dampak mikroplastik maupun partikel yang lebih kecil (nanoplastik) terhadap kesehatan manusia belum sepenuhnya dipahami, riset di bidang ini terus berkembang.
Studi paling menonjol terkait mikroplastik di otak dipublikasikan dalam jurnal Nature Medicine pada Februari lalu. Para ilmuwan menganalisis jaringan otak dari 28 orang yang meninggal pada 2016 dan 24 orang yang meninggal pada 2023 di negara bagian New Mexico, Amerika Serikat (AS). Hasilnya menunjukkan jumlah mikroplastik dalam sampel meningkat dari waktu ke waktu.
Studi ini menjadi sorotan global ketika peneliti utama, ahli toksikologi AS Matthew Campen, menyebut bahwa jumlah mikroplastik yang terdeteksi setara dengan satu sendok plastik sekali pakai di dalam otak manusia. Dia bahkan memperkirakan sekitar 10 gram plastik bisa diisolasi dari satu otak manusia yang disumbangkan — jumlah yang dia bandingkan dengan sebatang krayon.
Namun, sejumlah pakar mengingatkan agar hasil studi kecil ini tidak langsung dianggap konklusif.
“Ini memang temuan menarik, tetapi harus ditafsirkan hati-hati sambil menunggu verifikasi independen,” kata ahli toksikologi dari Heriot–Watt University, Skotlandia, Theodore Henry, kepada AFP.
Profesor kimia di RMIT University, Australia, Oliver Jones, juga menilai data yang ada belum cukup untuk menarik kesimpulan pasti, bahkan soal prevalensi mikroplastik di New Mexico, apalagi secara global. Dia juga meragukan klaim bahwa otak manusia bisa mengandung lebih banyak mikroplastik dibanding limbah cair mentah.
“Jika memang benar ada mikroplastik di otak manusia — dan itu masih tanda tanya besar — belum ada bukti bahwa hal tersebut menimbulkan bahaya,” ujar Jones.
Laporan media The Transmitter juga menemukan adanya gambar duplikat dalam studi tersebut, meski para pakar menilai hal itu tidak memengaruhi kesimpulan utama.
Sejauh ini, sebagian besar penelitian mengenai dampak mikroplastik terhadap kesehatan bersifat observasional, sehingga tidak bisa membuktikan hubungan sebab-akibat.
Salah satunya adalah studi yang diterbitkan New England Journal of Medicine tahun lalu, yang menemukan akumulasi mikroplastik di pembuluh darah berhubungan dengan peningkatan risiko serangan jantung, stroke, dan kematian pada pasien dengan penyumbatan arteri.
Eksperimen pada tikus juga memberi gambaran serupa. Penelitian di Science Advances pada Januari mendeteksi mikroplastik di otak tikus. Tim peneliti asal China melaporkan bahwa mikroplastik dapat memicu gumpalan darah langka di otak hewan percobaan tersebut, meski mereka menekankan perbedaan besar antara tikus dan manusia.
Sementara itu, tinjauan WHO pada 2022 menyimpulkan bahwa bukti yang ada masih “tidak memadai untuk menentukan risiko kesehatan” akibat mikroplastik.
Meski demikian, banyak pakar kesehatan menyerukan penerapan prinsip kehati-hatian. Laporan terbaru dari Barcelona Institute for Global Health, yang dirilis menjelang perundingan perjanjian plastik, menegaskan bahwa “keputusan kebijakan tidak bisa menunggu data lengkap.”
“Dengan bertindak sekarang untuk membatasi paparan, memperbaiki metode penilaian risiko, dan memprioritaskan kelompok rentan, kita dapat mengatasi persoalan mendesak ini sebelum berkembang menjadi
krisis kesehatan masyarakat yang lebih luas,” tulis laporan tersebut.
Produksi plastik dunia telah berlipat ganda sejak tahun 2000, dan diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat dari level saat ini pada 2060 jika tidak ada perubahan besar.
Sumber: AFPLaporan: Redaksi